Provinsi DKI Jaya diputuskan menjadi contoh penerapan penurunan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) karena dinilai konsep programnya terbaik dan layak diterapkan di 32 provinsi lainnya di tanah air.
Keputusan tersebut disepakati saat rapat kerja nasional (Rakernas) III Bappeda se- Indonesia di Ambon, 8 - 10 Februari 2012, kata Ketua Asosiasi Bappeda se- Indonesia, Deny Juanda Puradimaja, di Ambon, Jumat.
Ia mengatakan, DKI Jaya telah memprogramkan penurunan emisi GRK sejak 2009 dan menjadi anggota perhimpunan 40 kota megapolitan seluruh dunia atau C40.
Jakarta memperoleh manfaat dan pengalaman dari pelaksanaan program pembiayaan karbon dan peningkatan kapasitas (Carbon Finance Capacity Building - CFCB) .
DKI Jaya juga menjadi salah satu dari sembilan kota yang terpilih memperoleh bantuan teknis program CFCB selama tiga tahun.
Kesembilan kota itu yakni, Sao Paolo, Cape Town, Tshwane, Johanesburg, Dar Es Salam, Surat, Delhi, Jakarta dan Quezon City.
Makanya, menurut Deny, konsep dan pengalaman DKI Jaya itu bisa dipakai sebagai acuan untuk 32 provinsi lainnya dalam merealisasikan program penurunan emisi GRK.
"Kami harapkan juga konsultan yang mendampingi DKI Jaya dalam melaksanakan program tersebut menerapkannya hal yang sama di 32 provinsi lainnya sehingga secara umum Indonesia memiliki konsep dengan tidak membutuhkan tenggat waktu lama lagi untuk mendisain program tersebut sesuai karakteristik masing-masing daerah," ujarnya.
Sementara itu Kepala Bappeda DKI Jaya Sarwo Handayani mengungkapkan, dalam mengurangi emisi GRK, pemprov setempat menerapkan pembangunan sekolah-sekolah berkonsep gedung hijau (green building).
"Di Korea Selatan konsep kota hijau sudah dimulai dengan bangunan publik sederhana seperti sekolah dan puskesmas. Jakarta sudah dimulai dengan satu Puskesmas di Kecamatan Kemayoran," katanya.
Yani sapaan akrabnya itu mengemukakan, gedung hijau tepat dimulai dari sekolah. Terlebih, pengeluaran energi di sekolah diakuinya tidak sebesar pemakaian energi perkantoran.
"Yang pasti dimulai dari penghematan energi, baik air maupun listrik. Jadi bagaimana pencahayaannya menggunakan konsep hemat energi," ujarnya.
Pemprov DKI Jaya menargetkan pada 2030 penurunan emisi GRK mencapai 30 persen.
Sebelumnya Gubernur DKI Jaya Fauzi Bowo menegaskan, Pemprov berkomitmen untuk menurunkan emisi GRK dengan melakukan kajian analisa terhadap sejumlah sektor yang berpotensi menghasilkan karbon.
Upaya antisipasi perubahan iklim itu dapat dilakukan di antaranya dengan konversi minyak tanah ke LPG bagi rumah tangga, diversifikasi energi ramah lingkungan untuk transportasi seperti, bus Transjakarta dan bajaj berbahan bakar gas.
Begitu pun pengembangan pemanfaatan energi seperti listrik tenaga surya di Kabupaten Kepulauan Seribu, pembangunan tempat pengolahan sampah terpadu (TPST) dalam kota yang berkonsep Inegrated Treatment Facility (ITF), eco-drifing dan rencana pembangunan moda transportasi massal berbasis mass rapid transit (MRT).
(Sumber diambil dari DC Hilight News)
Keputusan tersebut disepakati saat rapat kerja nasional (Rakernas) III Bappeda se- Indonesia di Ambon, 8 - 10 Februari 2012, kata Ketua Asosiasi Bappeda se- Indonesia, Deny Juanda Puradimaja, di Ambon, Jumat.
Ia mengatakan, DKI Jaya telah memprogramkan penurunan emisi GRK sejak 2009 dan menjadi anggota perhimpunan 40 kota megapolitan seluruh dunia atau C40.
Jakarta memperoleh manfaat dan pengalaman dari pelaksanaan program pembiayaan karbon dan peningkatan kapasitas (Carbon Finance Capacity Building - CFCB) .
DKI Jaya juga menjadi salah satu dari sembilan kota yang terpilih memperoleh bantuan teknis program CFCB selama tiga tahun.
Kesembilan kota itu yakni, Sao Paolo, Cape Town, Tshwane, Johanesburg, Dar Es Salam, Surat, Delhi, Jakarta dan Quezon City.
Makanya, menurut Deny, konsep dan pengalaman DKI Jaya itu bisa dipakai sebagai acuan untuk 32 provinsi lainnya dalam merealisasikan program penurunan emisi GRK.
"Kami harapkan juga konsultan yang mendampingi DKI Jaya dalam melaksanakan program tersebut menerapkannya hal yang sama di 32 provinsi lainnya sehingga secara umum Indonesia memiliki konsep dengan tidak membutuhkan tenggat waktu lama lagi untuk mendisain program tersebut sesuai karakteristik masing-masing daerah," ujarnya.
Sementara itu Kepala Bappeda DKI Jaya Sarwo Handayani mengungkapkan, dalam mengurangi emisi GRK, pemprov setempat menerapkan pembangunan sekolah-sekolah berkonsep gedung hijau (green building).
"Di Korea Selatan konsep kota hijau sudah dimulai dengan bangunan publik sederhana seperti sekolah dan puskesmas. Jakarta sudah dimulai dengan satu Puskesmas di Kecamatan Kemayoran," katanya.
Yani sapaan akrabnya itu mengemukakan, gedung hijau tepat dimulai dari sekolah. Terlebih, pengeluaran energi di sekolah diakuinya tidak sebesar pemakaian energi perkantoran.
"Yang pasti dimulai dari penghematan energi, baik air maupun listrik. Jadi bagaimana pencahayaannya menggunakan konsep hemat energi," ujarnya.
Pemprov DKI Jaya menargetkan pada 2030 penurunan emisi GRK mencapai 30 persen.
Sebelumnya Gubernur DKI Jaya Fauzi Bowo menegaskan, Pemprov berkomitmen untuk menurunkan emisi GRK dengan melakukan kajian analisa terhadap sejumlah sektor yang berpotensi menghasilkan karbon.
Upaya antisipasi perubahan iklim itu dapat dilakukan di antaranya dengan konversi minyak tanah ke LPG bagi rumah tangga, diversifikasi energi ramah lingkungan untuk transportasi seperti, bus Transjakarta dan bajaj berbahan bakar gas.
Begitu pun pengembangan pemanfaatan energi seperti listrik tenaga surya di Kabupaten Kepulauan Seribu, pembangunan tempat pengolahan sampah terpadu (TPST) dalam kota yang berkonsep Inegrated Treatment Facility (ITF), eco-drifing dan rencana pembangunan moda transportasi massal berbasis mass rapid transit (MRT).
(Sumber diambil dari DC Hilight News)